TEKNIK BUDIDAYA IKAN KUWE (Gnathanodon speciosus)
Oleh :
SULEMAN
NRP. 4509418657
PROGRAM DIPLOMA IV
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR
JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH TINGGI PERIKANAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan lebih besar dibandingkan dengan luas daratan. Pemanfaatan sumber daya laut, khususnya bidang perikanan saat ini telah berkembang dengan pesat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri terhadap produk-produk perikanan seperti: kerapu, kakap, ikan hias, mutiara dan lain-lain.
Salah satu faktor produk andalan hasil perikanan yang dijadikan target utama dalam upaya meningkatkan pendapatan dari perikanan adalah ikan hias. Oleh karena itu melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan hias mendapat perhatian pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama ikan hias di dunia (Nugroho & Kuniarsih,2004).
Ikan hias laut termasuk ikan popular di masyarakat baik di dalam negeri maupun di luar negeri, karena warna dan bentuknya yang unik dan beraneka ragam. Indonesia terkenal kaya akan terumbu karang yang merupakan habitat berbagai jenis ikan konsumsi maupun ikan hias. Sampai saat ini sebagian besar ikan hias laut Indonesia masih mengandalkan hasil tangkapan untuk diekspor ke luar negeri dan menjadi sumber devisa Negara. Pasar tujuan ekspor ikan hias laut adalah Singapura, Taiwan, China, dan sebagian Negara Eropa (Poernomo dkk., 2003).
Mengantisipasi permintaan terhadap ikan hias yang kian meningkat, maka perlu dengan segera menguasai teknologi pembenihannya guna menunjang peningkatan produksi benihnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Ikan kuwe jenis golden trevally (Gnathanodon speciosus) ukuran 5-10 cm, merupakan jenis ikan hias laut yang termasuk dalam family Carangidae yang tergolong ikan karnivora. Komoditas baru ini merupakan alternatif usaha budidaya pembenihan selain ikan bandeng, kerapu, dan udang yang telah berhasil dilakukan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol.
Ikan kuwe (Gnathanodon speciosus) mulai dibenihkan di BBRPBL Gondol pada tahun 2006 dan sudah menghasilkan benih secara massal. Untuk meningkatkan produksi larva ikan tersebut secara terus-menerus dilakukan pengembangan usaha budidaya dan menguji dari berbagai aspek seperti aspek konsumsi oksigen, karena oksigen adalah suatu zat yang sangat esensial bagi pernapasan dan merupakan komponen yang utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Bila laju metabolisme cepat, maka organisme menunjukkan konsumsi oksigen yang lebih banyak (Djawad, 1997)
Gnathanodon speciosus, dikenal dengan nama Golden Trevally atau Ikan Kuwe, ikan ini dapat digunakan sebagai ikan hias dengan nama ikan pidana kuning. Ikan ini berpeluang sebagai spesies kandidat yang dapat dikembangkan dalam usaha budidaya. Ikan ini biasanya hidup pada perairan pantai yang dangkal, karang dan batu karang, termasuk spesies benthopelagic. Ikan ini dapat hidup pada kedalaman 12 m dan sering ditemukan pada laut tropis dan sub tropis. Ikan kuwe memiliki warna yang kontras keemasan dan bergaris-garis hitam. Termasuk famili dari ikan Carangidae. Benih ikan dapat mencapai juvenil pada umur 30 - 35 hari dan pertumbuhannya relatif cepat. Dalam upaya mendukung usaha pengembangan budidaya ikan hias laut secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka masih diperlukan riset dan pengembangan teknologi perbenihan dan pembesaran. Produksi massal benih ikan Pidana Kuning atau Golden Trevally (Gnathanodon speciosus, Forsskall) untuk komersialisasi sebagai ikan hias laut dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Ikan kuwe merupakan salah satu jenis ikan permukaan (pelagis). Ikan yang sangat digemari oleh masyarakat ini hidup pada perairan pantai dangkal, karang, dan batu karang. Di beberapa restoran sea food harga ikan kuwe berukuran 300-400 g berkisar Rp 15.000 - Rp 20.000/ekor (2005), adapun harga Gnathanodon speciosus saat berukuran kecil (3-5 cm) pada tahun 2007 adalah Rp 3.000 - Rp 5.000 per ekor. Ikan tersebut juga merupakan ikan hias yang diberi nama pidana kuning.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah :
1. Untuk mengetahui teknik budidaya ikan kuwe di karamba jaring apung.
2. Agar mengetahui permasalahan yang terkait dengan pemeliharaan
1.3 Batasan Masalah
Pada penulisan paper ini penulis membatasi pada teknik budidaya mencakup biologi dan sistematika ikan kuwe, parameter-parameter kualitas air yang sesuai dengan pemeliharaan ikan kuwe, sarana dan prasarana yang menunjang selama pemeliharaan, proses budidaya ikan kuwe dalam hal ini teknik budidaya ikan, serta faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan selama pemeliharaan seperti hama dan penyakit, dan tahap akhir dari pemeliharaan yaitu panen.
BAB II
BIOLOGI DAN SISTEMATIKA
2.1 Taksonomi dan Morfologi
Filum : Chordata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Perciformes
Famili : Carangidae
Spesies : Gnathanodon speciosus
Nama dagang : trevally
Nama lokal : bubara, kuwe macan (G. speciosus)
Spesies : Gnathanodon speciosus
Nama dagang : trevally
Nama lokal : bubara, kuwe macan (G. speciosus)
Ikan kuwe yang merupakan salah satu jenis ikan hias yang kini dijadikan ikan konsumsi dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1 . ikan kuwe (Gnathonodon speciosus)
2.2 Biologi Ikan Kuwe
2.2.1 Ciri fisik
Tubuh kuwe berbentuk oval dan pipih. Warna tubuhnya bervariasi, yaitu biru bagian atas dan perak hingga keputih-putihan di bagian bawah. Tubuh ditutupi sisik halus berbentuk sikloid. Sisiknya kecil dengan gurat sisi yang bercabang. Dibagian dada sisiknya berkurang atau tidak ada. Terdapat tiga duri, dua yang pertama terpisah dari sirip yang diam. Sirip ekornya berjagak (Poernomo dkk.2006).
Untuk lebih jelas mengetahui morfologi ikan kuwe terdapat pada Gambar 2 dibawah ini:
Gambar 2 .Morfologi Ikan Kuwe
Kuwe putih (Caranx melampygus) mempunyai badan memanjang dan gepeng sekali. Punggungnya hijau kebiruan dan putih keperakan pada bagian perut. Warna sirip punggung kedua, sirip perut dan sirip ekor kebiruan dan berubah menjadi gelap dan noda-noda hitam pada badan ikan-ikan tua. Kepala agak tumpul dan memiliki dua sirip punggung (Kordi, 2010).
2.2.2 Pertumbuhan dan perkembangan
Ikan kuwe dapat berenang cepat dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya. Ikan ini bersifat karnivora. Adapun pakan utamanya, yaitu ikan dan crustasea berukuran kecil. Ikan ini juga efisien memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat. Sebagai ikan ekonomis, sejak tahun 1993 Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan, telah menjadikan ikan ini sebagai salah satu ikan yang diteliti. Dari hasil penelitian kemudian diketahui bahwa spesies Gnathanodon melampygus dan Gnathanodon sexfasciatus yang merupakan jenis cepat bertumbuh. Selain memiliki laju pertumbuhan harian yang cepat, yang mencapai 1,71%, juga mempunyai konversi pakan yang cukup rendah, yakni 3,31 (Kordi, 2010).
Pada kegiatan budidaya dalam keramba jarring apung, jenis ikan yang dipelihara adalah C. ferdau, C. melampygus, C. talamparoides dan C. uii. Hal ini berkaitan dengan kelimpahan benihnya yang tertangkap dengan jarring pantai di perairan Teluk Ambon. Hasil pengamatan dalam keramba jaring apung menunjukkan bahwa jenis ikan kuwe yang dipelihara memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi (Rachmansyah dan Usman, 1993;Rachmansyah dkk.,1994).
2.3 Kebiasaan Makan
Bagi kelangsungan hidup suatu organisme termasuk ikan, makanan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pengamatan pemberian ikan rucah (Stelophorus sp.), ternyata dalam waktu 12 jam setelah pemberian pakan, sekitar 92% pakan tersebut dicerna. Diperkirakan ikan kuwe membutuhkan waktu 12 jam untuk mencerna makanannya. Berdasarkan jenis makanannya dan pengamatan pada percobaan budidaya di keramba jaring apung, maka ikan kuwe ini tergolong karnivora dan predator terhadap ikan yang berukuran kecil dengan cara makannya mencaplok dan tipe mulut yang umumnya terminal. Ikan kuwe bersifat rakus dan aktifitas makannya tidak dipengaruhi oleh periodisitas terang sehingga meskipun diberikan pakan pada malam hari tetap memberikan respons. Namun demikian dalam kegiatan budidaya, waktu pemberian pakan merupakan hal yang harus diperhitungkan karena akan mempengaruhi kebutuhan tenaga yang menciri pada peningkatan biaya operasional.
2.4 Jenis-jenis Ikan Kue
2.4.1 Diamond Trevally (Alectis indicus)
Hidup di terumbu pesisir,pada saat ikan ini masih stadia juvenile memiliki filament sirip jari yang panjang, namun memiliki bentuk kepala agak lebih sudut/miring dan memiliki jarak yang lebih jauh antara mata dan mulut, ditemukan di seluruh Indonesia, wilayah barat pasifik. Panjang ikan ini mencapai 150 cm. Ikan kuwe jenis Diamond trevally dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
Gambar 3. Diamond trevally (Allen, 2000)
Kuncoro, Wihartono, (2009), nama lain dari Alectis ciliaris adalah kuwe rumbai. Ikan ini hidup di laut dengan kedalaman 60-100 meter. Ikan yang masih kecil banyak terdapat di pantai dan dermaga. Kadang juga terlihat di pasar ikan hias, terutama yang masih kecil. Sebagai ikan konsumsi juga banyak dijual di pasar tradisional dengan harga murah. Kebiasaan makan ikan ini yaitu dengan memakan ikan, udang dan moluska.
2.4.2 Onion Trevally (Carangoides caeruleopinnatus)
Ikan jenis ini hidup diperairan dalam, dengan tubuh relatif pendek, punggung pendek dan cuping sirip dubur, bercak hitam kecil pada pinggiran atas tutup insang, dan bercak kuning kecil di badan, ditemukan di seluruh wilayah, indo C. pacific, sampai 400c. Ikan jenis ini dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini:
Gambar 4. Onion trevally
2.4.3 Longnose trevally ( Carangoides chrysophrys)
Longnose trevally dapat ditemukan di perairan pantai, dengan memiliki bentuk kepala lebih moncong ke ujung, sirip dada memanjang sepanjang gurat sisi. Dapat ditemukan di seluruh wilayah, indo-barat pasifik, ukuran ikan ini mencapai 44 cm (Allen, 2000). Ikan jenis ini dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini:
Gambar 5. Longnose trevally
2.4.4 Blue Trevally (Carangoides ferdau)
Ikan jenis banyak ditemukan diperairan pesisir dan terumbu karang pantai lepas, dapat dibedakan dengan ikan kuwe jenis lainnya dengan terpisahnya di dada dan pangkal sirip dada, memiliki moncong bulat yang terang, dan memiliki 5-6 garis kehitaman pada sisi, ditemukan di seluruh wilayah, indo-pasifik, ukuran mencapai 70 cm. Ikan jenis Blue trevally dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini:
Gambar 6. Blue trevally
2.4.5 Gold Spotted Trevally ( Carangoides fulvoguttatus)
Jenis ikan kuwe ini hidup di perairan pantai, mulut relatif berbentuk panjang bentuk dan terdapat banyak bintik emas (terutama di belakang), memiliki mata lebih tinggi di atas mulut, moncong lebih runcing, dan bintik-bintik kuning lebih banyak, juga dikenal sebagai Turrum dan kuning-bercak selar, ditemukan seluruh wilayah, indo-W. pacific, panjang ikan ini mencapai 130 cm dan berat 12 kg (Allen, 2000). Ikan jenis Gold spotted trevally dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini:
Gambar 7. Gold spotted trevally
2.4.6 Bludger Trevally (Carangoides gymnostethus)
Ikan ini banyak ditemukan di wilayah pesisir di sekitar terumbu karang atau berbatu, dapat dibedakan dengan badan yang relatif memanjang dan bercak coklat serta terdapat berwarna emas pada sisi, namun memiliki mata dekat ke mulut, bintik-bintik kuning lebih sedikit, dan bentuk moncong tajam, ditemukan di seluruh wilayah, indo-W.pacific, panjang ikan ini mencapai 90 cm dan berat 11 kg (Allen, 2000). Bludger trevally dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini:
Gambar 8. Bludger trevally
2.4.7 Malabar trevally (Carangoides malabaricus)
Ikan kuwe jenis Malabar trevally banyak terdapat di perairan pantai, bentuk badan lebih oval, bentuk kepala agak tajam, sirip punggung berwarna lebih pucat, memiliki garis-garis hitam pada tubuh/badan ikan ini. Ditemukan di seluruh daerah, Indo-Pasifik, panjang ikan ini mencapai 28 cm (Allen, 2000). Ikan kuwe jenis Malabar trevally dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini:
Gambar 9. Malabar trevally
2.4.8 Thicklip Trevally (Carangoides orthogrammus)
Banyak terdapat di wilayah pesisir, dapat dibedakan dengan beberapa bintik kuning bulat telur di tengah sisi dan terpisah antar pangkal sirip dada, juga dikenal sebagai selar palsu sirip biru, ditemukan di seluruh daerah, Indo - C. Pasifik, panjang mencapai 70 cm (Allen, 2000). Ikan jenis ini dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini:
Gambar 10. Thicklip trevally
2.4.9 Golden Trevally (Gnathanodon specious)
Ikan ini dapat tumbuh sampai 120 cm dengan berat 15 kg. Hidup di pantai dengan kedalaman antara 1-5 meter atau di tempat yang dangkal. Tersebar di pantai California, Mexico, Teluk California sampai Ekuador. Perairan pasifik di Indonesia, Philipina dan utara Australia. Daya berbiaknya sangat rendah karena membutuhkan waktu sekitar 4,5 - 14 tahun untuk menggandakan populasinya. Suka berada dipantai berpasir dengan mengaduk-aduk pasir mencari udang dan ikan kecil yang bersembunyi. Kadang berkelompok dalam jumlah kecil di dekat ikan besar seperti ikan hiu dan paus. Bahkan mengikuti penyelam. Ikan ini menjadi ikan konsumsi yang laku di pasar tradisional. Sering pula dijual sebagai ikan hias yang masih kecil (10-15 cm) (Kuncoro, Wihartono, 2009).
Gambar 11. Golden Trevally
2.4.10 Giant Trevally (Caranx ignobilis)
Dapat tumbuh sampai 170 cm dengan berat 80 kg. Tubuh berwarna perak keabuan dan sisik mengkilap. Ikan ini terdapat sepanjang khatulistiwa, dari daerah tropis dan subtropics. Ikan yang kecil masuk ke muara sungai sedangkan ikan yang besar banyak terdapat di laut sampai kedalaman 100 meter. Waktu penggandaan populasi/reproduksi sekitar 1,4 – 4,4 tahun. Giant trevally dapat dilihat pada Gambar 12 dibawah ini:
Gambar 12. Giant Trevally
Ikan ini biasa digunakan sebagai target memancing, terutama dengan teknik poping atau menggunakan umpan buatan dari kayu yang menyerupai ikan atau cumi. Ikan ini laku keras dipasaran sebagai ikan konsumsi dengan harga yang sedang. Hidup di sekitar tubiran atau daerah yang kedalamannya menikung tajam dari pantai. Merupakan ikan oportunis yang makan apapun yang masuk ke bukaan mulutnya, seperti udang, kepiting, ikan, cumi-cumi bahkan ular laut dan anak penyu (Kuncoro, Wihartono, 2009).
2.4.11 Black Trevally (Caranx lugubris)
Gambar 13. Black Trevally
2.4.12 Bluefin Trevally (Caranx melampygus)
Kuwe putih (Caranx melampygus) mempunyai badan memanjang dan gepeng sekali. Punggungnya hijau kebiruan dan putih keperakan pada bagian perut. Warna sirip punggung kedua, sirip ekor perut dan sirip ekor kebiruan dan berubah menjadi gelap dan noda-noda hitam pada badan ikan-ikan tua. Kepala agak tumpul dan memiliki dua sirip punggung. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 9 jari-jari keras (1 terbenam menghadap kearah muka), sedangkan sirip punggung yang kedua memiliki 2 jari-jari keras dan 20-24 jari-jari lunak. Sirip dubur memiliki 1 jari-jari keras dan 19-20 jari-jari lunak. Memiliki scute (sisik kaku yang mengeras) pada garis rusuk bagian belakang sebanyak 30-40 sisik (Allen, 2000)
Gambar 14. Kuwe putih
kuwe putih dapat tumbuh sampai 100 cm, tetapi umumnya berkisar 30-60 cm. ikan ini suka tinggal di daerah karang dan batu-batuan. Mulutnya dilengkapi gigi-gigi kecil, menunjukkan bahwa ini tergolong ikan buas (pemangsa) yang memangsa ikan-ikan kecil dan binatang-binatang kecil (invertebrata) (Kordi, 2010).
Untuk berbiak butuh waktu sekitar 1,4 – 4,4 tahun untuk menggandakan populasi. Hidup berkelompok dalam jumlah kecil sampai besar. Hidup dengan memakan ikan-ikan kecil dan udang. Ikan yang panjangnya di atas 50 cm ini sering menyebabkan ciguatera. Ikan ini telah dibudidayakan di Jepang dan Hawai. Dijual sebagai ikan konsumsi dan sering menjadi target memancing di laut dalam (Kuncoro, Wihartono, 2009).
2.4.13 Bigeye Travelly (Caranx sexfasciatus)
Caranx sexfasciatus atau kuwe terkulu memiliki banyak persamaan dengan kuwe putih, namun ada beberapa ciri yang membedakannya. Ciri yang dimiliki kuwe terkulu yang membedakannya dari kuwe putih antara lain, jumlah jari-jari keras pada sirip punggung kedua hanya 1 serta 18-21 jari-jari lunak. Pada sirip dubur terdapat 14-16 jari-jari lunak dan jumlah sisik keras (scute)-nya hanya 23-24. Badan ikan yang masih muda dilengkapi dengan sabuk, 4-7 buah.
Gambar 15. kuwe terkulu
Kuwe terkulu adalah penghuni perairan dangkal berkarang, dapat juga hidup di perairan payau dan kadang-kadang masuk ke muara sungai. Kuwe terkulu juga tergolong ikan pemangsa yang memakan ikan-ikan kecil dan hewan-hewan lainnya. Ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai ukuran 80 cm, namun yang banyak tertangkap dan dipasarkan umunya berukuran 50-60 cm (Kordi, 2010).
Hidup berkelompok sekitar 10-20 ekor dalam satu wilayah terbuka. Biasa memakan ikan-ikan kecil, udang kepiting dan moluska. Menjadi target memancing di pantai dan laut lepas. Populasinya melimpah di Indonesia. Dijual dengan harga sedang, menjadi komoditas penting perikanan di Indonesia (Kuncoro, Wihartono, 2009).
BAB III
PARAMETER KUALITAS AIR
3.1 PARAMETER FISIKA
3.1.1 Angin dan gelombang
Tinggi gelombang yang disarankan untuk pembesaran ikan kuwe tidak lebih dari 0,5 meter. Tempat pemeliharaan harus terhindar dari angin dan gelombang yang keras. Gelombang besar yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan stres pada ikan budidaya, sehingga mengurangi selera makan. Gelombang besar juga akan merusak konstruksi KJA, merubah posisi KJA dan menghanyutkan KJA, jadi dalam pemasangan KJA harus dipilih lokasi perairan yang terlindung dari badai dan gelombang (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Lokasi dengan pulau-pulau kecil biasanya dipilih sebagai pelindung dari ancaman gangguan tersebut (Kordi, 2005).
3.1.2 Kedalaman
Kedalaman air sebaiknya antara 15-30 meter pada waktu pasang dan surut. Perairan yang terlalu dangkal, maka lumpur dan kotoran air laut akan dengan mudah terakumulasi oleh ombak. Perubahan suhu dan salinitas juga akan tinggi yang dapat menyebabkan ikan menjadi stres. Lokasi perairan yang terlalu dalam sulit untuk penempatan jangkar sebagai tambatan agar keramba tidak dapat bergerak (Sutarmat, dkk., 2004).
3.1.3 Kecepatan Arus
Pembesaran ikan kuwe di karamba jaring apung, arus yang biasanya disebabkan oleh pasang surut sebaiknya berkisar antara 10-30 cm/detik, harus diketahui jika air mempunyai kecepatan pergantian yang rendah maka akan cepat terjadi penempelan organisme pada jaring selain itu juga dapat mempengaruhi pertukaran air keluar-masuk jaring. Tetapi apabila arus air lebih dari 30 cm/detik dapat mempengaruhi posisi jaring dan jangkar (Sutarmat, dkk., 2004).
3.1.4 Suhu
Perairan laut cenderung bersuhu konstan. Perubahan suhu yang tinggi dalam suatu perairan laut akan mempengaruhi proses metabolisme, aktifitas tubuh, dan syaraf ikan. Suhu optimal untuk pertumbuhan ikan kuwe adalah 270C-290 C (Akbar dan Sudaryanto, 2002).
3.1.5 Kecerahan
Kecerahan air merupakan faktor yang sangat penting bagi pemeliharaan ikan kuwe. Ikan kuwe ini selalu berada pada dasar jaring sepanjang waktu, oleh karena itu, jika kecerahan air sangat rendah akan sulit untuk melihat kondisi kesehatan ikan (Sutarmat dkk, 2004).
Menurut Akbar dan Sudaryanto (2002), kecerahan perairan merupakan salah satu indikator untuk menentukan lokasi. Perairan dengan tingkat kecerahan sangat tinggi (jernih) sangat baik sebagai lokasi pembesaran, sebaliknya perairan dengan tingkat kecerahan sangat rendah menandakan tingkat bahan organik sangat tinggi. Perairan demikian dikategorikan cukup subur dan tidak baik untuk digunakan. Perairan yang sangat subur dapat mempercepat perkembangan organisme penempel seperti lumut, cacing, dan kerang-kerangan, selain itu jaring juga akan cepat kotor. Kecerahan perairan yang sangat cocok untuk pembesaran ikan kuwe yang pada umumnya hamir sama dengan pemeliharaan ikan di KJA adalah lebih dari 2 meter, artinya secara visual dapat dilihat benda-benda di dalam air yang kedalamannya hingga lebih dari 2 meter.
Secara rinci dalam melakukan pemilihan lokasi budidaya, persyaratan yang harus dipenuhi menurut Kordi (2005),adalah seperti Tabel 1.
| Aspek | Nilai ideal | Catatan |
| Teknis 1) Kualitas air · Suhu · Salinitas · Oksigen · pH 2) Arus air 3) Kedalaman air 4) Gelombang 5) Pencemaran 6) Lalu lintas laut 7) Predator 8) Lingkungan | 24 – 32 0C 33 – 35 g/l 5 – 6 mg/l 7 – 8 0,2 – 0,5 m/dtk 7 – 15 m - - - - - | BOD maksimal 5 mg/l, amoniak 0,1 mg/l, total bakteri 3000 sel/m3 Tidak berada pada jalur lalulintas |
Sumber : Kordi (2005)
Imanto dkk. (1995), menyatakan persyaratan fisika dalam budidaya dikaramba jaring apung antara lain : salinitas 30 – 34 g/l, suhu 27 – 32 0C, dan kecerahan >3 m serta terlindung dari arus yang kuat. Arus yang baik dalam budidaya dikaramba jaring apung berkisar antara 0,05 – 0,15 m/detik. Dengan persyaratan fisika dalam budidaya di karamba jaring apung maka disimpulkan parameter fisika untuk ikan adalah, ombak tidak lebih dari 0,5 m, dengan kedalaman 15- 30 meter, pasang surut sebaiknya 10-30 cm/dtk, suhu 27-29 C dan kecerahan kurang lebih 2 meter.
3.2 PARAMETER KIMIA
3.2.1 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya dalam air tidak mencukupi kebutuhan ikan budidaya, maka segala aktifitas akan terhambat. Ikan membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktifitas, seperti aktifitas berenang, pertumbuhan, dan reprodukasi, oleh karena itu ketersediaan oksigen bagi ikan menentukan lingkaran aktifitas ikan, konversi pakan, demikian juga dengan laju pertumbuhan bergantung pada oksigen, dengan ketentuan faktor kondisi lainnya adalah optimum. Pertumbuhan ikan-ikan laut, kandungan oksigen terlarut dalam air minimal 4 ppm, sedangkan kandungan optimum antara 5-6 ppm (Kordi, 2005).
3.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman suatu perairan menunjukan tinggi rendahnya konsenterasi ion hidrogen perairan tersebut. Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. Suatu perairan yang memiliki pH rendah dapat mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit dan biasanya diikuti dengan tingginya tingkat kematian. Ikan air sangat baik pertumbuhannya bila dipelihara pada air laut dengan pH 8,0-8,2 (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Ikan kuwe merupakan salah satu jenis ikan air laut yang dapat dipelihara sehingga pH optimum yang cocok untuk ikan kuwe adalah 8,0-8,2.
3.2.3 Salinitas
Secara fisiologis salinitas air mempengaruhi osmoregulasi di tubuh ikan. Perbedaan salinitas antara air media dengan tubuh ikan akan menimbulkan kondisi yang tidak seimbang (hiperotonis dan hipotinis). Kondisi yang tidak isotonis menyebabkan sebagian besar energi potensial yang tersimpan dalam tubuh ikan digunakan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan yang kurang mendukung tersebut. Energi tersebut seharusnya digunakan untuk pertumbuhan. Perubahan salinitas yang terlalu tajam akan menyebabkan ikan menjadi stres (Muawanah, dkk., 2003).
Evans menyatakan bahwa penyerapan air oleh ikan laut di air payau berlangsung lebih cepat daripada air laut, sehingga dengan demikian penambahan berat tubuh lebih cepat pada salinitas 20 ppt dan 25 ppt (Makalah Teknik Teknisi Litkayasa,2009). Lokasi yang berdekatan dengan muara tidak dianjurkan untuk pembesaran ikan kuwe. Lokasi ini salinitasnya sangat berfluktuasi karena dipengaruhi masuknya air tawar dari sungai. Fluktuasi salinitas tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan. Lokasi yang berdekatan dengan muara juga sering terjadi stratifikasi perbedaan salinitas yang dapat menghambat masuknya oksigen dari udara ke air. Salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan kuwe adalah 30-33 ppt.
BAB IV
SARANA DAN PRASARANA BUDIDAYA
4.1 Sarana pokok .
Sarana yang digunakan untuk membudidayakan ikan kuwe lebih banyak menggunakan karamba jaring apung seperti yang telah dibudidayakan di BBL Lampung. Sarana pokok yang digunakan pada budidaya dikaramba jaring apung untuk keberhasilan suatu budidaya ikan, khususnya budidaya ikan kuwe meliputi kerangka rakit, pelampung, jangkar, dan kurungan jaring.
4.1.1 Kerangka Rakit
Rakit adalah kerangka yang mengapung di permukaan air dan berfungsi sebagai tempat menggantungkan keramba, dudukan bangunan gudang dan jalan (Kordi, 2005). Pemilihan bahan disesuaikan dengan ketersediaan di lokasi budidaya, namun secara umum dapat menggunakan balok kayu, dolken, bambu, pipa PVC, atau besi yang dilapisi bahan anti karat. Bentuk kerangka rakit sangat bervariasi, namun yang banyak diaplikasikan di Indonesia adalah berbentuk bujur sangkar.
Pengikatan rakit dapat digunakan tali polietilen, ijuk/amit, ataupun kawat. Bambu dan pelampung dipasang sedemikian rupa sehingga tidak mudah rusak. Pengikatan bambu di setiap sudut rakit paling luar harus kuat dan kokoh (Kordi, 2005).
Menurut Rahardjo dkk., (1999) menyatakan bahwa untuk memberikan rasa nyaman bagi petugas, sebuah rakit perlu dilengkapi dengan papan pijakan untuk memperlancar gerakan petugas di dalam pemberian pakan, ganti jaring, atau memperbaiki posisi jaring serta mengontrol kondisi rakit secara keseluruhan.
4.1.2 Pelampung
Pelampung berfungsi untuk mengapungkan kerangka rakit. Bahan yang dapat digunakan sebagai pelampung adalah drum plastik, drum besi, styrofoam, dan fiberglass (Mayunar dan Genisa, 2002). Bahan pelampung yang mudah berkarat, misalnya drum besi, sebaiknya dilakukan pelapisan dengan cat anti karat atau dibungkus plastik untuk memperkuat proses korosi dan menghindari tumbuhnya fouling (jasad penempel pada bangunan yang terendam air laut, misalnya cacing, kerang teritip, dan lain-lain) (Kordi, 2005).
4.1.3 Jangkar
Jangkar atau tapu berfungsi menahan KJA dari pengaruh arus, air, angin, ombak, dan pasang surut, sehingga KJA tetap di tempatnya yang telah ditetapkan (Kordi, 2000). Satu unit rakit apung paling sedikit digunakan 4 buah jangkar, namun bila terdiri dari beberapa unit rakit, jumlah jangkar yang dibutuhkan bukan kelipatan 4 tetapi dapat diatur sedemikiam rupa (Mayunar dan Genisa, 2002).
Menurut Rahardjo dkk., (1999) pada daerah terlidung satu unit rakit memerlukan 4 buah jangkar, dengan berat berkisar 50-75 kg/buah. Daerah yang lebih terbuka memerlukan jangkar yang beratnya lebih dari 75 kg/buah. Rakit yang digunakan sebanyak dua unit hanya diperlukan 6 buah jangkar. Pemasangan jangkar perlu dilengkapi dengan tali jangkar yang berdiameter 18-20 mm. Panjang tali jangkar dapat berpatokan pada 2,5 – 3 kali kedalaman perairan.
Di perairan yang cukup terlindung (teluk, selat), jangkar yang digunakan berukuran 50 kg/buah sedangkan di perairan berarus kuat ukuran jangkar berkisar antara 150-200 kg/buah dan bahkan lebih. Perairan lumpur berpasir sebaiknya menggunakan jangkar berbentuk kait atau kodok, sedangkan perairan pasir berkarang menggunakan jangkar berbentuk pancang, jarum. Pengikat jangkar yang digunakan adalah tali plastik (polyetylene) berdiameter 3-5 cm, sedangkan panjangnya 3 kali kedalaman air (Mayunar dan Genisa, 2002).
4.1.4 Kurungan Jaring
Menurut Mayunar dan Genisa (2000), Kurungan jaring disebut kurung-kurung yang merupakan wadah atau tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari polyetylene (PE), polypropylene (PP), dan polyester (PES). Ukuran mata jaring yang digunakan harus sesuai dengan ukuran ikan, biasanya berkisar antara 0,5 – 3,0 cm. Kurung-kurungan agar tetap simetris, setiap sudutnya perlu dipasang pemberat. Pemberat yang digunakan biasanya terbuat dari timah atau semen dengan kisaran berat 2,5 kg/buah. Jaring pemeliharaan dilengkapi dengan yang disebut cover (Rahardjo dkk., 1999)
4.2 Sarana operasional
Menurut Sutarmat, dkk., (2004), selain rakit terdapat beberapa perlengkapan yang harus disiapkan untuk memudahkan proses kegiatan budidaya. Berikut beberapa perlengkapan penting yang diperlukan :
1. Perahu, yang digunakan untuk mengangkut ikan/benih, pakan, jaring, hasil panen dan sebagainya.
2. Freezer dan kulkas digunakan untuk menyimpan pakan, obat-obatan, bahan aditif seperti vitamin.
3. Generator, digunakan sebagai sumber tenaga listrik untuk keperluan penerangan, aerator, dan lain-lain.
4. Aerator, diperlukan selama treatmen ikan dengan perendaman air tawar atau obat-obatan untuk menanggulangi penyakit.
5. Paranet penutup jaring, digunakan untuk mengurangi sinar matahari masuk kedalam jaring. Hal ini diperlukan karena jika ikan kuwe banyak terkena sinar matahari langsung bisa menimbulkan stres.
6. Peralatan yang lain, beberapa perlengkapan yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari diantaranya serok dengan berbagai ukuran, timbangan untuk menimbang ikan, sprayer untuk mencampur obat dan vitamin dengan pakan, tangki untuk perendaman ikan, sikat untuk mencuci jaring, ember, dan lain-lain.
4.3 Prasarana
Usaha pemeliharaan ikan Kuwe di KJA lebih mempunyai nilai ekonomis jika didukung dengan prasarana seperti : jalan, pasar, listrik, air tawar dan telepon. Prasarana jalan akan memperlancar pengiriman hasil panen ke pasar ataupun untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari pekerja, baik yang sifatnya konsumtif ataupun peralatan-peralatan kerja untuk budidaya.
BAB V
TEKNIK BUDIDAYA
5.1 Pemilihan Benih
Benih yang digunakan untuk pembesaran bisa berasal dari tangkapan dari alam maupun pembenihan. Umumnya tangkapan benih dari alam sangat terbatas, ukurannya tidak seragam serta sering sudah terserang penyakit akibat luka pada saat penangkapan dan pengangkutan. Benih yang digunakan lebih baik berasal dari hasil pembenihan (Sunaryat, dkk., 2001).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan benih adalah tidak adanya cacat tubuh pada ikan karena pada saat pemeliharaan biasanya ikan yang cacat kondisinya lemah dan mudah terserang penyakit, kemudian akan berkembang secara intensif dan kemudian penyakit akan menular pada ikan yang sehat. Benih yang cacat akan mempengaruhi pada pertumbuhannya yaitu menjadi lambat. Beberapa hal terpenting dalam pemilihan benih adalah : tidak sakit atau membawa penyakit khususnya virus, bentuk badan normal, tidak mengkonsumsi pakan hidup, pakan benih selalu dalam keadaan baik dengan kandungan nutrisi bagus (Sutarmat, dkk., 2004). Hal ini juga menjadi patokan setiap pemilihan benih ikan untuk dibudidayakan misalnya pada ikan benih ikan kuwe.
5.2 Padat Penebaran Benih
Penebaran ikan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Benih dimasukkan ke dalam karamba secara perlahan-lahan. Sebelum penebaran, kondisi kualitas air harus diperhatikan. Apabila kualitas air pengangkutan berbeda dengan kualitas air lokasi budidaya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan, terutama terhadap salinitas dan suhu.
Benih berukuran 20-25 g dapat ditebar dengan kepadatan sekitar 150 ekor/m3 untuk pemeliharaan selama 3 bulan. Apabila ikan telah mencapai bobot >250 g/ekor, padat penebaran harus dikurangi sampai 100 ekor/m3 (www.google.com)
5.3 Pakan
Ikan kuwe adalah ikan pelagis yang termasuk ikan aktif dan perenang cepat karena itu memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi seperti menurut Giri dkk. (1999) kebutuhan protein ikan kuwe adalah 54,2%. Protein merupakan salah satu nutrien yang diperlukan oleh ikan untuk pertumbuhan. Penggunaan protein untuk pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran, umur, kualitas protein, kandungan energi pakan, keseimbangan gizi, dan tingkat pemberian pakan (Fumichi, 1988; NRC, 1983). Menurut Lowell (1980) dan Boonyararatpalin (1999), kebutuhan energi untuk hidup pokok harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum energi pakan dipakai untuk pertumbuhan (Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2009).
Beberapa jenis pakan alami dan buatan diaplikasikan untuk meningkatkan sintasan larva ikan. Salah satu jenis pakan alami terpopuler dan cocok untuk larva ikan adalah rotifer. Dikatakan Lubzens dkk. (1989) bahwa rotifer ini memiliki banyak keunggulan dan dapat dengan mudah dikultur secara massal. Delapan tahun sebelumnya Watanabe (1983) dalam Jurnal yang sama menemukan kandungan protein rotifer sebesar 40%-60% protein dan lemaknya sebesar 13%-16%. Namun demikian, menurut beberapa ahli, nutrisi rotifer ini masih perlu ditingkatkan, terutama kandungan asam lemak eikosapentaenoat (EPA), dan dekosaheksanoat (DHA)-nya. Beberapa peneliti kemudian mendapatkan hasil penelitian pengkayaan nutrisi rotifer dengan menggunakan aneka bahan pengkaya rotifer, Yunus dkk (1996) menyatakan bahwa bahan pengkaya yang baik dalam pemeliharaan larva ikan kuwe adalah 10 g minyak kod ditambah 20 g kuning telur ayam, 5 g ragi roti dalam 100 L air laut dengan kepadatan rotifer 500 ind/mL dan pengkayaan dilakukan selama 2 jam.
5.3.1 Jenis dan Mutu pakan
Aslianti & Prijono (2004), menyatakan bahwa nilai protein, lemak, dan kadar abu rotifer yang diperkaya dengan pengkaya komersial selama 2 jam meningkat menjadi masing-masing sebesar 59,34%, 12,92%, dan 17,3% dibandingkan sebelum diperkaya dimana kandungan protein 40-60% dan lemak 13-16%. Kualitas larva yang dihasilkan juga lebih baik dan sehat serta mempunyai keragaman yang tinggi yaitu menghasilkan 53,33% ukuran sedang (M), 31,00% ukuran besar (L), dan ukuran kecil (S). dengan tersedianya pakan yang baik, larva ikan kuwe akan memberikan respon yang tinggi terhadap pakan yang diberikan. Setiaharma dkk (1999;2002) frekuensi pemberian pakan pada larva ikan delam waktu 24 jam sebanyak 5 kali (pukul 09.00, 11.00, 13.00, 15.00, dan 17.00) dan menghasilkan pertumbuhan benih ikan yang normal dengan sintasan 7,49%.
Larva yang baru menetas, tanpa perlakuan disinfeksi pada telur, dipelihara dalam bak beton bervolume 6 m3 dan berisi 4.000 liter air laut dengan sistem sirkulasi. Pergantian air dimulai setelah larva berumur lima hari. Pada awal penebaran (D0), larva diberi pakan berupa Nannochloropsis. Setelah berumur dua hari, larva diberi pakan rotifer hingga akhir pengamatan. Pengambilan sampel larva dan sampel air pemeliharaan dilakukan sebelum pemberian pakan atau pergantian air agar diperoleh kondisi yang seragam. Larva ikan kuwe mulai aktif makan 35,5–47,5 jam setelah menetas atau saat larva berumur dua hari (D2). Pada masa tersebut terjadi pergantian pemanfaatan sumber energi dari sumber eksogen. Masa pergantian ini merupakan periode kritis bagi larva sebab peluang terjadinya kematian sangat tinggi (Setiadharma & Asmanik, 2006).
Dalam pemeliharaan larva ikan kuwe, pakan alami yang diberikan adalah plankton jenis Nannochloropsis, Rotifera, nauplii artemia dan mysid serta pakan buatan. Pemberian naiuplii artemia dilakukan pada umur 8 hari sampai 20 hari, kemudian sebagai pakan tambahan pada umur 15 hari sampai 40 hari (http://dudulwardani.blogspot.com/2010/08/teknologi-pembenihan-ikan golden. html). Pemberian pakan awal yang tepat pada stadia awal pemeliharaan larva sangat berpengaruh terhadap sintasan dan kesiapan larva dalam stadia selanjutnya. Pemberian pakan awal dimulai saat larva berumur D2 – D10, selanjutnya diberikan nauplii artemia dan pakan buatan hingga mencapai fase yuwana (D30)( Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010).

Gambar 15. Perkembangan Larva Ikan Kuwe
Pada pendederan ikan kuwe (Gnathanodon speciosus Forsskal) pemberian jenis pakan pelet, ikan rucah, rebon tidak mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan. Pendederan ikan kuwe (Gnathanodon speciosus Forsskal) sebaiknya menggunakan pakan buatan yaitu pelet karena kualitas pakan dapat ditentukan, sudah mengandung vitamin, mineral yang lengkap dalam ransum pakan, dan tahan lama, serta tidak tergantung dari musim atau alam.( Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2009)
5.3.2 Pemberian Pakan
Ikan kuwe bersifat karnivora. Ikan ini di alam memakan ikan dan krustasea kecil. Oleh karena itu, hingga saat ini pakan yang terbaik untuk budidaya ikan kuwe masih berupa ikan rucah yang dipotong-potong sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya.
Pakan diberikan sekitar 8-6% bobot badan per hari pada pagi dan sore hari. Perubahan jumlah pemberian pakan dilakukan setiap bulan setelah dilakukan pengukuran pertumbuhan. Adapun penggunaan pelet komersial juga bisa dilakukan. Pelet yang diberikan berupa pelet tenggelam dengan frekuensi pemberian pelet dua kali sehari dengan jumlah pemberian hingga kenyang.
BAB VI
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
6.1 Hama
Menurut Kordi (2004), hama adalah organisme yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan budidaya secara langsung maupun tidak langsung. Hama dapat berupa predator, penyaing, perusak budidaya, dan pencuri. Hama pemangsa adalah organisme yang memangsa ikan budidaya, seperti ikan buas, ular, burung, katak, belut, dan berang-berang. Sedangkan hama penyaing adalah hewan yang masuk ke dalam wadah budidaya dan bersifat menyaingi kehidupan budidaya tersebut. Penyaingan tersebut apat berupa pakan, apabila hama tersebut memakan jenis pakan yang sama dimakan dengan ikan yang dibudidayakan. Hama perusak sarana adalah organisme yang dapat menimbulkan kerusakan sarana budidaya, seperti kepiting, ikan-ikan buas yang dapat merobek keramba jaring apung di laut.
Adapun beberapa cara penanggulangan hama di keramba jarring apung adalah sebagai berikut :
6.1.1 Penanggulangan ikan buas
Ikan-ikan berukuran besar dan buas, seperti ikan hiu dapat menyerang ikan-ikan budidaya pada keramba jarring apung di laut. Ikan-ikan buas dapat merobek jaring keramba, sehingga ia dapat memangsa ikan peliharaan, dan ikan-ikan peliharaan pun dapat lolos melalui bagian jarring yang robek. Penanggulangan hama ikan buas ini dengan merangkap jarring keramba, juga selalu melakukan control terhadap ikan peliharaan.
6.1.2 Penanggulangan siput dan alga
Mata jaring keramba yang kecil akan memudahkan jaring keramba cepat kotor ditempeli organisme pengganggu, seperti beberapa jenis alga, teritip, dan kerang-kerangan. Menempelnya organisme tersebut akan menghambat pertukaran air. Untuk menanggulanginya, keramba harus diganti. Keramba yang kotor dicuci dan dikeringkan yang nantinya untuk mengganti keramba yang kotor. Biasanya untuk keramba berukuran mata jaring kecil (1 inci) membutuhkan waktu ganti jaring 2 minggu, sedangkan untuk mata jaring bermata 2 inci membutuhkan waktu ganti 3-4 minggu.
6.1.3 Penanggulangan burung dan mamalia
Serangan hama burung dan mamalia pemakan ikan dapat dihentikan dengan cara memasang perangkap untuk menangkapnya. Perangkap ini hendaknya diikat dengan kuat ke pohon atau diikat ke patok yang ditanam cukup dalam dan kuat, agar tidak dibawa lari oleh burung atau mamalia. Untuk penanggulangan burung di KJA dilakukan dengan cara membuat tutup pada keramba dengan menggunakan jaring.
6.2 Penyakit
Di lingkungan alam ikan air laut khususnya ikan yang dipelihara di KJA dapat diserang berbagai macam penyakit. Penyakit tersebut dapat menyerang dalam jumlah yang lebih besar dan dapat menyebabkan kematian. Pencegahan penyakit dan penanggulangan merupakan aspek budidaya yang penting.
Budidaya ikan kuwe dalam keramba jaring apung bila tidak dikelola dengan baik, dapat mengakibatkan kerugian. Pemilihan lokasi yang tidak tepat, kepadatan yang terlalu tinggi, mutu pakan dan benih yang rendah serta jaring yang dibiarkan kotor dapat menyebabkan serangan penyakit pada ikan budidaya. Ikan kuwe yang tidak sehat cenderung berbaring/bersembunyi di dasar keramba atau dibawah naungan namun mampu bergerak cepat memangsa ikan.
Penyakit yang menyerang budidaya pembesaran ikan kuwe di KJA antara lain:
6.2.1 Penyakit Parasitik
6.2.1.1 Kutu kulit
Selama pemeliharaan ikan sering ditemukan parasit eksternal yang umum pada ikan budi daya laut, yaitu kutu kulit. Ada dua jenis kutu kulit yang ditemukan, yaitu Neobenedenia dan Benedenia. Jenis yang disebut pertama bersifat lebih patogen dibandingkan jenis kedua.
Neobenedenia tidak hanya menyerang permukaan tubuh, tetapi juga mata yang dapat menyebabkan kebutaan dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
Ø pemberian pakan harus cukup memadai dan tidak berlebihan.
Ø Kepadatan tebar tidak terlalu tinggi.
Ø Perendaman dengan air tawar selama 5—10 menit, tiga hari berturut-turut.
Ø Perendaman dengan hydrogen peroxida 150 ppm selama 30 menit dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan interval waktu 7 hari.
6.2.2 Penyakit Bakterial
Menurut Sunyoto (1994) menyatakan ada 2 jenis golongan bakteri yang sering menyebabkan penyakit pada ikan laut, yaitu bakteri perusak sirip dan Bakteri Vibrio sp.
6.2.2.1 Bakteri Perusak Sirip (Bacterial fin rot)
Sirip-sirip ikan yang mengalami kerusakan biasanya terutama pada ujung-ujungnya. Pada bagian sirip ekor rusak sehingga hanya tersisa bagian penducle (dekat pangkal ekor). Penanggulangan bakteri ini adalah dengan menggunakan antibiotik nitrofurazone 15 ppm selama paling sedikit 4 jam (Sunyoto, 1994).
Menurut Diani (1995), menyatakan bahwa penyakit ini sering ditemukan karena akibat pengangkutan, penanganan yang kurang baik dan luka-luka atau gigitan dari ikan lain, namun penyakit ini tidak fatal bagi ikan.
6.2.2.2 Bakteri Vibrio sp.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Vibriosis sp. Bakteri ini biasanya bertindak sebagai pathogen sekunder yang timbul akibat infeksi primer protozoa. Gejala yang ditimbulkan adalah nafsu makan berkurang, lesu, terdapat pembusukan pada sirip, mata menonjol, terjadi penggumpalan cairan pada perut, serta terdapat radang berwarna merah pada bagian anus. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara merendam ikan pada larutan prefuran 1 ppm selama 1 hari. Selain itu pengobatan bisa dilakukan dengan pakan yang sudah dicampur dengan oksitetrasiklin 2 - 3 g/kg pakan. Pengobatan dengan pakan dapat dilakukan selama 1 minggu berturut-turut (Akbar dan Sudaryanto, 2002 ).
BAB VII PANEN
7.1 Panen
Teknik pemanenan ikan pada unit karamba jaring apung relatif mudah dilakukan. Pemanenan dapat dilakukan secara total dan sebagian sesuai dengan permintaan pasar, terutama pada saat harga jual tinggi (Puja et al., 2001). Setelah pemeliharaan selama 5-6 bulan, ikan kuwe dapat dipanen dengan ukuran konsumsi (300-400 g). Dengan kelangsungan hidup 70-95%, dapat dihasilkan ikan rata-rata 28 kg/m3. Pemanenan ikan dalam KJA sangat mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung kebutuhan.
Ada 2 metode panen yang dapat dilakukan menurut Dewi dan Putro (1999), yaitu ;
7.1.1 Metode Panen Selektif
Metoda panen selektif adalah metode memanen ikan-ikan yang sudah mencapai ukuran yang diinginkan sesuai dengan permintaan pasar, sedangkan ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil dapat terus dipelihara di tempat semula. Panen selektif sering pula dilakukan untuk memenuhi permintaan dalam skala kecil.
7.1.2 Metode Panen Total
Metoda ini digunakan apabila permintaan konsumen cukup tinggi dan ikan yang dipelihara sudah memenuhi syarat untuk dijual, baik dari segi ukuran maupun jumlahnya. Metoda ini pada prinsipnya dilakukan dengan cara memanen semua ikan yang dipelihara, cara ini mudah dilakukan karena tidak perlu melakukan seleksi ukuran pada saat panen.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. dan Sudaryanto. 2002. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penebar Swadaya. Jakarta
Allen, Gerry. 2000. Marine Fishes of South-East Asia.Periplus Editions. Hongkong
-----------2007. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur vol. 6 no. 1. Jakarta.
-----------2008. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur vol. 7 no. 2. Jakarta.
Dewi, Julianasari dan Dwi Handoko Putro.1999. Budidaya Ikan Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung
Diani, Susanti, Sri Rejeki dan Ateng Supriatna. 1995. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakat Teknologi Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Imanto T., N. Listyanto, dan B. Priono. 1995. Desain dan Konstruksi Karamba Jaring Apung untuk Budidaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
------------1996. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.II no. 3. Jakarta.
Kordi M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakitnya. Rineka Cipta. Jakarta.
Kordi M.G.H . 2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung. Rineka Cipta. Jakarta.
Kordi M.G.H.,Tamsil A. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis secara Buatan. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Kuncoro E. B., Wihartono F.E Adi. 2009. Ensiklopedi Populer Ikan Air Laut. Penerbit Andi. Yogyakarta.
-----------2009. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.
Mayumar dan Genisa.2002. Budidaya Ikan Kakap Putih. Grasindo. Jakarta
Muawanah., Nira, S. dan Atri, T.K. 2003. Penanganan Penyakit Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut Lampung. Ditjenkan. Hal 35 – 41
Poernomo A,. Mardlijah,S., Linting M.L., Amin E.M,. Widjopriono. 2006. Ikan Hias Laut Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
-----------2009. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.
-----------2010. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.
Puja, Y., Evalawati dan Syamsul, A. 2001.Pembesaran Kerapu macan dan Kerapu Tikus di Karamba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung.
Rahardjo, Budi, Bambang, P. Hartono dan Nico Runtuboy. 1999. Sarana dan Prasarana Budidaya Ikan Kakap Putih di Keramba Jaring Apung. Budidaya Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung. Hal 14-19
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu Dengan Karamba Jaring Apung. Penebar Swadaya. Jakarta
Sutarmat, T., Suko Ismi, Adi Hanafi, dan Shogo Khawara. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) di Keramba Jaring Apung. Cetakan ke II. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
http://www.ziddu.com/download/3982294/budidaya_ikan_kakap_putih.pdf.html

Tidak ada komentar:
Posting Komentar